Setiap Hari, Puluhan Siswa SD Seberangi Tukad Saba Untuk Sampai Sekolah

Singaraja | Suasana  memprihatinkan terlihat setiap hari didaerah aliran sungai Saba, sungai yang membelah Desa Ringdikit, Desa Ularan dan Desa Lokapaksa. Puluhan anak-anak sekolah dasar dari Desa Lokapaksa dan Desa Ularan harus menyeberangi sungai itu dengan arus cukup deras supaya bisa sampai bersekolah di SD Negeri 5 Ringdikit, Kecamatan Seririt. Cukup membahayakan.

Sekolah ini termasuk sekolah terpencil dan posisinya tepat terletak di pinggir sungai Saba di wilayah Desa Ringdikit. Beberapa anak-anak dari Desa Ularan dan Desa Lokapaksa terpaksa bersekolah disini karena sebenarnya perjalannya lebih dekat walaupun harus berjalan kaki sepanjang dua kilometer melewati persawahan dan sungai.

- Advertisement -

Sementara untuk menuju sekolah di masing-masing desanya justru lebih jauh. Anak dusun ini tinggal di daerah terpencil juga di Desa Lokapaksa dan Desa Ularan yang letaknya berseberangan sungai dengan Desa Ringdikit.

Namun mereka tetap bersemangat untuk bersekolah, walaupun harus menyeberangi sungai Saba. Terkadang, jika aliran sungai besar mereka memilih meliburkan diri demi keselamatannya. Di daerah ini, tidak ada jalan lain kecuali harus menyeberangi sungai Saba. Karena itu, untuk berangkat menuju sekolah ataupun pulangnya, puluhan anak-anak ini selalu berbarengan.

Luh Adi Ariyani, salah satu siswa mengaku sering menunggu teman-temannya di pinggir sungai sebelum berangkat ke sekolah untuk memupuk rasa kebersamaan.

“Jaraknya memang agak jauh dari rumah, perjalanan selama setengah jam. Kami selalu saling menunggu supaya bisa bersekolah bareng-bareng.” ujar Luh Adi Ariyani, Siswa kelas 3 SDN 5 Ringdikit.  Luh Adi memilih bersekolah di SDN 5 Ringdikit karena lebih dekat daripada sekolah di desa nya yang jaraknya justru lebih jauh dipusat desa.

- Advertisement -

Terkadang, kata Luh Adi, aliran sungai Saba cukup besar jika musim penghujan, namun kini beruntung musim hujan sudah mulai berkurang sehingga aliran air juga tidak terlalu tinggi. “Kalau aliran air meninggi, kadang kami tidak bisa bersekolah. Untuk menyeberangi sungai tetap hati-hati karena licin,” katanya.

Sementara itu, Kepala Sekolah SDN 5 Ringdikit, Made Aryadha mengutarakan jumlah siswa di sekolah sebanyak 75 orang, dan tiga puluh persen diantaranya berasal dari Desa Lokapaksa dan Desa Ularan.  Siswa dari kedua desa itu terpaksa harus menyeberangi sungai karena tidak ada jalur alternative maupun jembatan penghubung.

Siswa SDN 5 Ringdikit usai menjalani proses belajar mengajar |Foto : Putu Janawi|
Siswa SDN 5 Ringdikit usai menjalani proses belajar mengajar |Foto : Putu Janawi|

Sisi lain, sebagai sekolah terpencil sekolah ini juga kekurangan fasilitas ruang kelas untuk belajar. Hanya ada sekitar empat ruang kelas yang layak guna untuk belajar dan dua ruangan menggunakan bangunan dari sebuah asrama atau mes sekolah yang juga sudah alami kerusakan. Karena kekurangan ruang kelas, siswa kelas satu dan kelas dua harus bersekolah secara bergantian.

Siswanya juga banyak yang tidak menggunakan sepatu saat bersekolah. Kebanyakan dari mereka adalah siswa kurang mampu. Mereka tidak banyak mempunyai stok sepatu, sehingga ketika mereka harus basah menyeberangi sungai, maka tak ada sepatu lain yang bisa dipakai.

”Sekolah ini memang serba kekurangan baik soal fasilitas maupun yang lain. Siswanya juga banyak dari desa tetangga. Mereka berangkat sekolah dengan menyeberangi sungai, bahkan jika terjadi banjir maka mereka tidak bisa bersekolah,” ujar Aryadha saat ditemui di SDN 5 Ringdikit.

Kondisi ini memang sudah terjadi sejak lama. Anak-anak sekolah harus menyeberangi sungai sudah terjadi sejak lama. sekolah ini juga mendapat predikat sebagai sekolah terpencil di tahun 2009. Walaupun terjadi bertahun-tahun, namun sampai saat ini belum ada bantuan infrastruktur dari Pemerintah Propinsi Bali maupun Pemkab Buleleng.

Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Buleleng, Ketut Suparta Wijaya mengatakan kebutuhan jembatan desa Lokapaksa, Desa Ringdikit dan Desa Ularan sebenarnya masih menjadi kewenangan desa dan bukan status kabupaten. Namun, jika diperlukan keterlibatan Pemkab Buleleng dalam perencanaan yang menyangkut kepentingan masyarakat, Ddinas PU Buleleng siap untuk membuatkan perencananaan, kata Suparta.

“Mungkin kami akan usulkan Bantuan Keuangan Khusus (BKK)  dari Pemprop Bali. Karena kalau dilihat Sungai Saba sangat besar, itu paling tidak bentangan jembatan sampai 25 – 30 meter dan itu butuh anggaran sekitar Rp.5 miliar hingga Rp.6 miliar. Tukad Saba itu tukad besar tentu bentang jembatannya juga lebar. Sayang sekali itu masih menjadi kewenangan desa,tetapi desa sendiri juga pasti tidak mampu menganggarkan pemabngunan jembatan,” ujar Suparta Wijaya.

Menurut Suparta anggaran untuk pembangunan sebuah jembatan sangat mahal, sehingga jika pembangunan jembatan diwilayah itu dibebankan kepada pihak desa tentunya desa setempat tidak akan mampu untuk membangun jembatan.

Masyarakat umum juga seringkali harus menyeberangi Sungai saba untuk melakukan aktifitas. |Foto : Putu Janawi|
Masyarakat umum juga seringkali harus menyeberangi Sungai saba untuk melakukan aktifitas. |Foto : Putu Janawi|

Dinas PU Kabupaten Buleleng berharap Pemprop Bali bisa mendengar dan melihat kondisi ini supaya bisa memberikan anggaran BKK untuk pembangunan jembatan di tahun anggaran berikutnya.

Warga setempat juga berharap Pemerintah Propinsi Bali dan Buleleng bisa membangun infrastruktur bagi kawasan tersebut, karena selama ini warga juga sering melakukan aktifitas melalui jalur sungai ini. |PW|NP|

 

 

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts