Keunikan Desa Banyuseri, Prasasti Yang Belum Terkuak Hingga Ritual Mekelin

Singaraja, koranbuleleng, Desa Banyuseri, sebenarnya salah satu desa tua di kawasan Bali Aga di kecamatan Banjar, Buleleng. Namun, banyak yang tahu bahwa komunitas desa Bali aga di wilayah ini hanyalah dari empat desa yang disebut SCTP (Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Pedawa).

Bahkan diperkirakan, Desa Banyuseri adalah pusat desa dari sejumlah desa-desa Bali aga di masa silam. Perkiraan ini memang masih misteri, namun sebagian terkuak dari keberadaan prasasti Banyuseri yang sampai kini masih tersimpan baik digedong penyimpenan Pura Desa Banyuseri.

- Advertisement -

Prasasti Banyuseri pernah dibaca oleh sejumlah tim pada tahun 1988. Dalam dokumen yang dimiliki oleh Pemerintah Desa Banyuseri, pembacaan prasasti dilakukan oleh tim dari kantor wilayah Depdikbud Propinsi Bali. Pembacaan dilakukan pada tanggal 28 Nopember 1988.

Ada 7 lempengan prasasti yang terbuat dari baja. Namun tidak seluruh prasasti bisa dibaca karena sebagian besar huruf dari prasasti itu sudah tidak terlihat karena tertutup karat.

Prasasti ini ditemukan oleh Pan Sarti pada tahun 1950 silam di lahan perkebunannya dalam kondisi teritmbun tanah. Walaupun sebagian besar isi prasati belum terkuak, namun ada bebarapa tulisan yang bisa dan telah dibaca.

Perbekel Desa Banyuseri, Nyoman Sukadana menyatakan pihaknya berkeinginan kuat supaya lembaga pemerintah yang berwenang bisa menguak kembali dari isi prasasti secara keseluruhan.

- Advertisement -

“Kami sangat berkeinginan untuk menguak isi prasasti itu, tetapi kepada siapa , kepada lembaga mana  kami mengadu, kami tidak ketahui,”ujar SUkadana.

Dari pembacaan dimasa lalu, kata Sukadana, prasasti ini dikelompokkan dalam 3 kelompok. Tetapi pengelompokan belum dibuat kronologisnya karena penanggalan, nama raja tidak terbaca, selain itu belum ada tipologi hurufnya.

Kelompok 1 disebut kelompok Banyuseri 1, Kelompok dua disebut Banyuseri 2 dan kelompok 3 disebut Banyuseri 3.

Prasasti Banyuseri 1 ditemukan 2 lembar, masing-masing bertuliskan 6 baris. Sementara Banyuseri 2 ditemukan empat lempeng  prasasti. Dan Banyuseri 3 ditemukan 1 lempeng prasasti.

Pihak Desa Banyuseri sangat berkeyakinan bahwa prasasti Banyuseri ini terkait erat dengan keberadaan desa-desa di kawasan Bali aga, yakni Desa Banyuseri, Desa Sidatapa, Desa Tigawasa, Desa Cempaga, Desa Pedawa.

“Kami berkeyakinan bahwa dalam prasasti juga tertulis erat soal hubungan dari kelima desa di Bali Aga ini. Sidatapa, Cempaga, Pedawa, Tigawasa dan Banyuseri. Pasalnya, dari aktifitas adat , salah satu Desa yakni Desa Sidatapa ikut memberikan punia berupa hewan atau yang lain saat pidoalan pujawali di Desa Banyuseri,”ungkap Sukadana.

Sementara Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Desa Banyuseri, Made Mudita mengatakan lempengan prasasti ini memang tidak sembarangan bisa dikeluarkan dari gedong penyimpenan. Prasasti ini hanya dikeluarkankan dari gedong penyimpenan pada saat piodalan pujawali.

“Pada saat pujawali dihari raya Galungan, prasasti dan gong duwe ini disucikan dan dibersihkan. Pembersihannya juga tidak sembarangan, benda-benda sakral ini diperciki air di Pura Taman sebagai ritual penyucian. Disitu ada sebuah sumur yang memang secara khusus dipergunakan untuk menyucikan benda-benda sakral yang dijaga oleh Desa Adat Banyuseri,”terang Mudita.

Menurut Mudita, dari sisi penyelenggaraan ritual adat, Desa Banyuseri masih melestarikan warisan nenek moyang mereka. Semua pelaksanaan upacara adat disesuaikan dengan dresta atau kebiasaan di masa lalu. Dresta ini bahkan dibukukan sebagai pedoman bagi desa adat Banyuseri.

“Misalnya, ketika ada yang meninggal. Pihak keluarga harus melaporkan ke desa adat karena ini akan menyangkut soal cuntaka desa. Bila ada salah satu anggota keluarga yang meninggal, maka seluruh warga desa Banyuseri akan menjalani masa cuntaka, tidak boleh ke pura. Karena itulah harus dilaporkan,” terang Mudita.

Lesung atau ketungan, alat yang digunakan untuk ngoncang ketika sebuah keluarga melaksanakan ritual mekelin |Foto : Nova Putra|
Lesung atau ketungan, alat yang digunakan untuk ngoncang ketika sebuah keluarga melaksanakan ritual mekelin |Foto : Nova Putra|

Prosesinya pun berbeda, antara jasad yang diaben dan tidak diaben. Dalam adat setempat, proses ngaben disebut dengan mekelin. Jika adakeluarga yang mekelin, maka keluarga tersebut wajib untuk membunyikan ketungan atau ngoncang.

Kini hanya ada beberapa warga Banyuseri yang mempunyai ketungan untuk menandakan prosesi mekelin di desa ini. Umur ketungan itupun rata-rata mencapai lebih dari dua abad, Ketungan kuno ini biasanya terbuat dari kayu pohon cemara. Ketungan mempunyai panjang empat meter dan lebar sekitar hampir 60 centimeter. |NP|

 

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts