Penghargaan dari Unesco Bukti Kekuatan Wayang Wong Selama 4 Abad

Singaraja, koranbuleleng.com| UNESCO (The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) menetapkan Wayang Wong dari Desa Tejakula, Buleleng sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda, setahun lalu. Sebuah penghargaan tertinggi dalam upayanya melestarikan sebuah tatanan seni dan budaya. Ini membuktikan, Wayang Wong masih kuat bertahan di era modern.

Piagam penghargaan penetapan Wayang Wong sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda ini juga diserahkan secara langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada Bupati Buleleng, dan diteruskan kepada Desa Tejakula yang menaungi sekaa Wayang Wong Tejakula. Dari Desa Tejakula diterima langsung oleh penasehat Sekaa Wayang Wong, Gde Komang di atas panggung utama Buleleng Festival ke-4, saat pembukaannya pada Selasa 2 Agustus 2016.

- Advertisement -

Wayang wong yang diperkirakan telah berumur empat abad ini lalu dipentaskan lagi di Puri Kanginan, Singaraja, sebagai rangkaian pengisi acara Bulfest ke-4, Kamis 4 Agustus 2106.

Dalam pementasan kali ini, Sekaa Wayang Wong Guna Murti Desa Tejakula membawakan lakon Gugurnya Rahwana. Cerita-cerita yang selalu dipentaskan adalah epic Ramayana.

Penasehat Sekaa Guna Murti, yang juga pemain Wayang Wong, Gde Komang mengatakan pihaknya merasa bersyukur atas penghargaan dari UNESCO yang menetepkan Wayang Wong sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda.

Penghargaan ini butuh pertanggungjawaban besar kedepanya, karena pertaruhananya adalah menjaga seni dan budaya Wayang Wong ini tetap ada, lestari dan bisa ditarikan oleh generasi penerusnya.

- Advertisement -

Untuk mempertahankan, generasi-generasi muda di Tejakula akan dibina untuk terus bisa menarikan Wayang Wong dan menabuh tetabuhan sebagai iringan musiknya.

“Kami akan berupaya keras untuk terus melakukan pembinaan terhadap keberadaan Wayang Wong ini,” janji Gde Komang.

Gde Komang menjelaskan, keberadaan Wayang Wong ini sudah ada sejak abad ke-17. Diperkirakan, cikal bakal Wayang Wong Tejakula ini dibawa dari Blahbatuh oleh pesemetonan Jelantik. Pada mulanya, Cikal bakal Wayang Wong ini adalah Seni Gambuh yang dikreasikan hingga menjadi Wayang Wong.

“Karena situasi kebudayaan di masa lalu, Gambuh ini dikreasikan hingga menjadi Wayang Wong ini, dan sampai saat ini masih disakralkan,” terangya. Soal pementasan, Wayang Wong ada dua jenis yakni Wayang Wong Wali dan Bebalian.

Wayang Wong untuk Wali secara khusus disakralkan dan hanya ditarikan di sejumlah pura di Desa Tejakula, yakni Pura Pemaksan, Pura Kahyangan Tia. Beberapa topeng sakral masih tersimpan di pura dan tidak boleh dikeluarkan secara sembarangan.

Sementara Wayang Wong Bebali secara khusus dipentaskan untuk tontonan publik. Semua topeng yang digunakan juga duplikat dari aslinya.

Apa yang dikatakan oleh Gde Komang sampai saat ini masih terbukti. Pemain-pemain Wayang Wong ini masih terjaga dengan baik. Regenerasi terus saja ada, walaupun tidak begitu banyak.

Ayu, Salah satu seniman Wayang Wong yang memerankan tokoh Trijata dalam lakon Gugurnya Rahwana ini merasa ada semacam ikatan emosional yang sangat kuat ketika dirinya turun gelanggang untuk memainkan Wayang Wong ini.

“Saya mulai menarikan Wayang Wong ini sejak tahun 2010. Awalnya, lebih sering menari Wayang Wong untuk Wali yang khusus menari di Pura Pemaksan. Tidak terlalu susah untuk menarikan Wayang Wong ini ketika saya bergabung untuk menjadi penari Wayang Wong ini,”ujar Ayu.

Ayu mengaku mementaskan Wayang Wong bukan hanya sekedar menari dan menggunakan topeng yang punya karakter, namun juga harus paham bahasa-bahasa sansekerta yang digunakan untuk menceritakan epik-epik Ramayana ini dalam bentuk kekidungan.

Pengakuan yang sama juga dinyatakan oleh Sri Hartini, perempuan lainnya yang menari dalam sekaa Guna Murti ini. Dia sering mementaskan tokoh Dewi Sita dalam setiap pementasan Wayang Wong, seperti yang dipentaskan di Puri Kanginan ini dalam rangkaian Bulfest ke-4.

Sri mengaku, memang tidak banyak penari perempuan dalam sekaa Wayang Wong, bukan karena langka tetapi lebih karena kebutuhan dalam lakon saja. Dia sendiri, juga sering melakoni karakter laki-laki dalam cerita-cerita di setiap pementasan.

Sri sudah menari Wayang Wong sejak tahun 1993. Cukup lama, dan itu terjadi begitu saja.  Sri seringkali membawakan berbagai karakter tokohnya, seperti Laksamana, Trijata dan lainnya.

Dia sudah lihai menarikan walaupun berbeda tokoh. “Kalau dari sisi gerakan tari berbeda disetiap penokohannya, dan sulit memang untuk menarikannya. Tetapi karena sudah terbiasa dan sudah tahu betul gerakan-gerakan tari dan perbedaaanya dari masing-masing tokoh ini jadinya bisa ditarikan,” kata Sri.

Kini, sekaa Guna Murti sedang giatnya melakukan regenerasi penari dan penabuhnya. Salah satu generasi termuda dari penabuhnya adalah Putu Ngurah Lanang. Dia masih duduk dibangku sekolah dan sudah lihai menabuh Gender.

Mencari seorang anak untuk menabuh Gender sangatlah sulit, dan ini sebuah kekuatan lain dari Wayang Wong hingga mampu memunculkan penabuh gender cilik. |NP|

 

 

 

 

 

 

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts