Wayan Tarka : Tak Gentar Dijebloskan ke Penjara oleh Belanda Demi NKRI

Singaraja, koranbuleleng.com| Wayan Tarka, Pria asal Desa Sekumpul, Kecamatan Sawan kelahiran tahun 1929  ini terlihat gagah dan berwibawa, masih mampu berjalan tegak tanpa bantuan, tanpa kacamata, khususnya saat menggunakan seragam veteran, sambil menunjukkan penghargaan berupa lencana. Namun seiring usia, pendengaran mengalami gangguan, ingatan dan kecerdasannya pun sudah tajam lagi.

Beliau adalah saksi dan sekaligus pelaku sejarah peristiwa pertempuran yang dilakukan pasukan pejuang lokal yang dikenal dengan nama pemuda di Tugu Pahlawan Wira Wijaya Sakti yang merupakan titik pertempuran dan terletak di Desa Galungan, Kecamatan Sawan, Buleleng.

- Advertisement -

Gelora dimasa perjuangan kemerdekaan akhirnya dicatat sebagai sebuah peristiwa bersejarah oleh masyarakat. Tugu Pahlawan Wira Wijaya Sakti, Desa Galungan, Buleleng menjadi saksi sejarah sebagai titik peristiwa pertempuran antara pasukan pejuang Nyoman Ratep dan Ketut Neca yang ikut tergabung dalam pasukan dari I Gusti Ngurah Rai melawan pasukan Belanda pada tanggal 12 Juni 1946 dalam rangka mempertahankan kemerdekaan NKRI.

Wayan Tarka alias Pan Artawan mengisahkan, dirinya memutuskan bergabung dalam pasukan pemuda di usia yang tergolong masih belia, ikut bergabung bersama lima pemuda lainnya dari desa Sekumpul. Pemimpin perjuangan di Buleleng saat itu dibawah komando Ida Bagus Indra.

“Saat berumur 15 tahun, merasa terpanggil untuk ikut berjuang dan merupakan kewajiban untuk menghentikan penjajahan ini, kita harus berjuang mempertahankan kemerdekaan seperti yang sudah dikumandangkan oleh Presiden Soekarno di jakarta. Akhirnya bersama lima orang pemuda lainnya dari dusun bingin kami bergabung dan menjadi satu pasukan, satu pasukan biasanya terdiri dari lima sampai enam orang saja. Senjata yang digunakan sangat sederhana, berbekal senjata tradisional seperti pedang, golok dan juga bambu runcing,” ucapnya.

Menurut Pan Artawan, sebelum puncak pertempuran di Desa Galungan tahun 1946 meletus, saat itu pihak Belanda sudah mengincar pos yang didirikan para pemuda. Para pemuda pun sudah siap melakukan perlawanan walaupun hanya bersenjata golok, pedang dan bambu. Pasukan Belanda sudah bersenjata canggih kala itu.

- Advertisement -

“Pihak Belanda meyewa mata-mata untuk mengincar keberadaan para pejuang saat itu, mata-mata itu adalah rakyat pribumi, salah satu namanya kerutuk dari sangsit. Keberadaan kami pun diketahui, kemudian pertempuran pun tak terelakkan dimulai dari Benteng Jagaraga dan kami terkepung dari segala arah, jumlah pasukan musuh terlalu banyak dan dilengkapi dengan persenjataan canggih. Akhirnya kami terdesak dan memutuskan mundur hingga ke  Peninjauan, Desa Menyali. Saat itu pasukan pemuda diselamatkan masyarakat desa setempat,” terangnya.

Lanjut dia, pertempuran itu berlangsung sekitar dua minggu, benteng pertahanan terakhir kami saat itu di bukit pucuk, Desa Pakisan dan bukit sekumpul (Tugu Pahlawan Wira Wijaya Sakti).

“Pihak Belanda berhasil menduduki pos pertahanan di benteng jagaraga dan peninjauan, saat kami bertempur di bukit sekumpul dari pihak Belanda menyerang lengkap dengan empat pesawat menggempur para pejuang. Korban pun mulai berjatuhan, yang saya ketahui selain Nyoman Ratep dan Ketut Neca, saya pun menyaksikan langsung satu anggota di kelompok kami tertembak dan gugur saat itu, namanya Ida Bagus Tirta dari desa sawan. Wilayah Benteng bukit pucuk dan Bukit Sekumpul pun akhirnya berhasil dikuasai pihak Belanda.Malamnya, setelah pertempuran yang berlangsung selama sekitar dua minggu, suasana benar-benar sepi dan sunyi. Warga banyak yang pergi karena ketakutan. Bersama sisa pasukan berjumlah 57 orang, kami pun menyingkir sampai di kedu, desa panji,” ungkapnya.

Paling berkesan di masa perjuangannya di tahun 1946, Pan Artawan memiliki kenangan yang tak terlupakan ketika dirinya tertangkap di daerah Tabang, Bebetin dan dijebloskan ke penjara hampir selama sebulan oleh pihak Belanda di Desa Sudaji bersama empat rekan pejuang kemerdekaan lainnya.

Didampingi istri tercinta Nyoman Suci (80), Pejuang Pan Artawan yang telah dikaruniai tujuh anak diantaranya, Gede Artawan (1950) , Nyoman Budiasih, Ketut Suparta, Luh Mariasih, Made Remiti, Ketut Sukrawan, dan Luh Sukendran (46),mengungkapkan harapannya, agar Pemerintah Daerah dapat memberikan perhatian khusus kepada anak keturunan para pejuang. Karena selama ini perhatian akan nasib pejuang hanya diberikan oleh pemerintah pusat semata.

“Kami diberikan tunjangan sebesar Rp 2.000.000,-  per bulan, itu pun dari pusat. Saya berharap Pemerintah Daerah bisa memberi kesempatan kepada anak saya diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil sebagai bentuk apresiasi terhadap kami para pejuang,” harapnya.|NH|

 

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts