Potret Kebhinekaan di Festival Nyastra Bali

Singaraja, koranbuleleng.com |  Untuk pertama kali, Festival Nyastra Bali digelar di Bali, bahkan serentak di sembilan kabupaten dan kota se-Bali, Minggu 11 Desember 2016. Di Kabupaten Buleleng dipusatkan di Gedung Kesenian Gde Manik, Singaraja dengan jumlah peserta 1.310 peserta dari sejumlah sekolah dasar dan kelompok belajar.

Festival Nyastra ini bukan hanya diikuti dari anak-anak berkeyakinan Hindu, namun ternyata terlihat sejumlah anak-anak muslim. Ada dua orang siswa yang berasal dari MI Al Khairiyah, Kecamatan Seririt. Yakni,  Nadila Hafidatul Ilmiyah, 12, dan Putri Nur Masuroh, 12.

Nadila Hafidatul Ilmiyah, dan Putri Nur Masuroh mengikuti lomba menulis aksaara bali dalam Festival Nyastra |Foto : Rika Mahardika|
- Advertisement -

Nadila Hafidatul Ilmiyah yang kini duduk di bangku kelas enam itu, mengatakan ia sudah belajar menulis aksara Bali sejak kelas lima. Dirinya cukup intens mempelajari bahasa dan kasara bali di sekolahnya.

“Saya diajari oleh guru sejak kelas lima, dan gurunya juga agama islam. Yang penting mau belajar pasti bisa,” ungkapnya.

Menurut Ketua Penyuluh Bahasa Bali, Nyoman Suka Ardiyasa mengatakan Bahasa Bali ini menjadi perekat kebhinekaan, jadi bukan karena agama mempelajari bahasa bali tetapi ketika seseorang tinggal di Bali maka secara tidak langsung akan mempelajari bahasa Bali.

Menurutnya, disinilah bedanya festival nyastra Bali ini terlihat sangat toleran  karena mampu memunculkan hubungan persaudaraan dan keberagaman identitas. Festival Nyastra ini diselenggarakan oleh Penyuluh Bahasa Bali.

- Advertisement -

Suka menambahkan festival nyastra ini digelar sebagai upaya pelestarian, penyelamatan, dan penggenerasian dibidang sastra Bali. Upaya itu bukan hanya dilakukan pada saat festival saja, namun sudah jauh hari sebelumnya melalui berbagai perjuangan dan aktifitas lain.

Pembinaan tentang sastra Bali menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar walaupun selama ini anak-anak sekolah sudah diajarkan di sekolahnya masing-masing. Namun yang terpenting kata Suka, tugas penyuluh di masa depan adalah mengkemas supaya anak-anak sebagai generasi mendatang bisa menjadi senang untuk mempelajari Bahasa Bali.

“Ketika mereka senang, maka itu harapan besar menumbuhkan semangat berbahasa bali. Termasuk hari ini, soal-soal bahasa bali juga sangat mudah,” ujarnya.

Anak-anak berpakaian adat Bali dalam lomba menulis aksara bali|Foto : Nova Putra |

“Kita dekatkan dulu, mempermudah mereka, yang penting mereka demen malu pasti akan tumbuh kelompok-kelompok belajar yang memang difokuskan untuk kaderisasi Bahasa Bali.” tambahnya.

Menurutnya, dengan diadakannya festival ini maka akan ada semangat mengembangkan aksara Bali, melestarikan Bahasa Bali dari anak-anak generasi muda.

Tentang potensi kebahasaan, Suka menyatakan bahwa Penyuluh Bahasa Bali sudah melakukan pemetaan terkait dengan berbagai temuan lontar dan isinya. Kedepan, tugas penyuluh Bahasa Bali juga harus mampu melakukan upaya pelestarian sehingga bahasa bali ini benar-benar menjadi terjaga dengan baik, lestari dan masyarakat terbiasa untuk menggunakan bahasa dan akasara Bali.

“Potensi kebahasaan di Bali sudah kami petakan dua bulan terakhir. Termasuk temuan lontar-lontar itu. Selanjutnya tentu menindaklanjuti potensi itu. Bagaimana melestarikan lontar, menulis aksara, berbahasa, bahkan jika mungkin menulis sastra Bali,” tegas Suka.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, Dewa Putu Beratha mengatakan festival nyastra ini adalah gerakan dalam rangka melestarikan aksara dan bahasa Bali. Upaya pelestarian yang dimulai dari anak-anak akan sangat melekat dengan jangka waktu lama.

“Salah satu proses bahwa penyuluh bahas Bali sudah bisa menyampaikan, apa yang mereka lakukan selama ini. Ini artinya ada gerakan yang luar biasa untuk melestarikan aksara bali. Dan ini adalah sesuatu yang baru kita mulai di Bali yang mendapat dukungan yang luar biasa. Dan harus kita lakukan secara berkesinambungan,” ungkapnya.|RM|NP|

 

 

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts