Jurnalis Jujur Itu Keren!

Singaraja, koranbuleleng.com | Komunitas Jurnalis Buleleng (KJB) menggelar kembali Diskusi Akhir tahun 2016. Kali ini, mengambil topik Integritas Pers Dalam Membangun Kepercayaan Publik, di Wantilan Pelabuhan Buleleng, Sabtu 17 Desember 2016. KJB menghadirkan empat narasumber yang sangat kompeten. Dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bali yakni Made Adnyana Ole, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali Agung Kayika, Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Bali Hary Puspita serta akademisi dari Universitas Panji Sakti, Gede Made Metera. Sementara Moderatornya Ketut Wiratmaja, wartawan radio Guntur yang juga Presiden KJB.

Sebenarnya banyak hal yang bisa dipelajari dari diskusi ini, bukan hanya sekedar tentang menulis dan melakukan peliputan, tetapi ada “kulit-kulit” lainnya yang bisa dipetik ketika seorang Jurnalis menjalani pekerjannya.

- Advertisement -

Made Adnyana Ole, Pemred Nirwana TV yang juga pengelola tatkala.co mengatakan, bahwa Jurnalis itu harus menghamba pada kebenaran. Di jaman saat ini, narasumber juga banyak yang tidak benar, terkadang seringkali narasumber berbicara di media tanpa mengetahui secara persis seluk-beluk yang dibicarakan.

Namun Ole mengatakan bahwa untuk menyiasati itu, Jurnalis yang harus jujur terhadap kebenaran itu. Belajar jujur itu tentu sulit, tetapi itu patut dan wajib dilaksanakan oleh insan pers.

Untuk menentukan kebenaran hakiki dalam dunia jurnalisme, adalah dengan cara membuat sebuah reportase berbasis data.

“Data itu adalah narasumber yang paling jujur, kecuali datanya dibuat oleh orang yang tidak jujur. Data itu kalau kita tidak percaya data itu, kita verifikasi lagi, nah itu membuat kita jujur, kita memeriksa diri kita setelah itu kalau kita tidak yakin, alat yang kita ambil untuk meyakinkan itu adalah verifikasi dan itu yang paling sering tidak dilakukan wartawan, karena untuk kecepatan, verfifikasi biasanya diabaikan,” terang Ole.

- Advertisement -

Ole tidak sependapat terhadap media-media mainstream yang berlomba menerbitkan atau menayangkan sebuah peristiwa teramat genting karena seringkali kecepatan itu mengabaikan verifikasi.

Selama ini, kata Ole, di masyarakat justru banyak yang lebih mempertanyakan, siapa yang lebih awal meneribitkan atau menayangkan sebuah peristiwa itulah media massa atau wartawan yang berprestasi.

Padahal jika dilihat dan dipahami, seringkali sebuah peristiwa yang besar dengan terburu-buru ditayangkan justru informasinya bisa sangat dangkal, dan ini sangat membahayakan.

Ole menyatakan, kejujuran itu sangatlah penting dalam dunia jurnalisme dan itulah sari dari integritas Pers dalam membangun kepercayaan publik.

Penjelasan Gede Made Metera juga sangat mencerahkan bahwasanya, wartawan tidak cukuplah hanya tahu soal prinsip 4 W dan 1 H. Itu prinsip dasar namun dibalik itu Jurnalis harus mampu menguasai berbagai displin ilmu. Ini berat. Tetapi itulah tantangan Jurnalis untuk bisa menyebarkan informasi yang berkualitas kepada masyarakat.

Kata Metera ilmu dasar dari jurnalistik adalah ilmu sejarah, sedangkan jurnalistik itu ilmu terapannya. Dalam mencari informasi sampai menyajikan, ada empat tahap yang harus dilalui. Yakni yuristik atau mencari jejak-jejak informasi, lalu ditindaklanjuti dengan kritik. Salah satu cara kritik itu adalah verifikasi dan cover both side, lalu tahapan lain yakni triangulasi atau mencari pandangan yang ketiga bahkan bisa bertentangan.

Setelah itu dilakukan interpretasi atau penafsiran. Alat yang digunakan untuk menafsirkan adalah ilmu pengetahuan. Untuk menguji kebenaran itu hanya bisa dikroscek dengan ilmu baik ilmu ekonomi, hukum dan lainnya sesuai dengan informasi yang didapatkan. Dan yang terahkir adalah menyajikan informasi secara baik.

Seringkali penyajian dilakukan tanpa mencari kritik, tanpa mencari pandangan ketiga dan maka data mentahlan yang disajikan dan jadilah sampah. “Tentu karya jurnalistik itu tidak ingin dibilang sampah bukan?” terang Metera.

Persoalan lain juga, kata Metera. Bisa saja penyajian informasi yang dilkaukan oleh jurnalis di lapangan bis atidak sampai ke publik, karena ada bagian-bagian lain yang bisa menghambat. Ada redaksi atau juga pemodal. Bagian-bagian itu memiliki kepentingan tertentu dalam penyampaian informasi ke publik.

Ketua IJTI Bali, Agung Kayika juga menjelaskan hal yang sama dengan Metera. Agung Kayika melihat adanya peran dan kepentingan pemilik modal dalam sebuah karya jurnalistik, sehingga seorang jurnlalis akan dihadapkan dengan dua pilihan untuk berpihak didalam mewujudkan integritas pers.

“Pers itu ibaratnya dua mata koin yang berbeda, dari satu sisi ada kepentingan pemilik modal dan disisi lain ada kepentingan kita sebagai jurnalis, jadi kalau kita bicara pers memang sangat luas ditengah adanya kepentingan-kepentingan tersebut, akan tetapi ketika kita lebih menekankan lagi pers notabene disana ada seorang jurnalis yang lebih aktif dalam melaksanakan tugasnya, jadi seorang jurnalis seharusnya memihak kepentingan public daripada kepentingan pemilik modal,” papar Agung Kayika.

Sementara itu, Ketua AJI Bali, Hari Puspita mengatakan untuk mewujudkan integritas pers akan dikembalikan pada diri sendiri seorang jurnalis. “Kita-kita inilah yang punya kekuatan untuk menumbuhkan integritas Pers itu,” terang Hari. |Nova Putra|

 

 

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts