Ranperda Perlindungan Mata Air Dibatalkan

Singaraja, koranbuleleng.com| Setelah tarik ulur, Panitia Khusus (Pansus) II dan Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Buleleng akhirnya memutuskan untuk membatalkan pembahasan Ranperda Kabupaten Buleleng tentang Perlindungan Mata Air. Ranperda tersebut dinilai bertentangan dengan regulasi.

Keputusan itu muncul setelah Pansus dan Bapemperda Buleleng melaksanakan Pembahasan dengan Dinas PUPR serta Bagian Hukum Setda Buleleng di Ruang Komisi III Selasa, 8 Mei 2018. Dalam pembahasan itu diketahui jika Ranperda tentang Perlindungan Mata Air terkendala dengan regulasi atau payung hukum.

- Advertisement -

Pasalnya, regulasi sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 telah dibatalkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dan kembali pada Undang-Undang nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.

Ketua Pansus II Haji Mulyadi Putra menjelaskan, dalam pembahasan Ranperda Kabupaten Buleleng tentang Perlindungan Mata Air tersebut, Pansus telah melakukan konsultasi ke Kemendagri dan Dirjen Penataan Air Kementerian PUPR RI.

Dari Konsultasi itu mendapatkan petunjuk bahwa dengan Putusan MK, otomatis kewenangan yang berkaitan dengan mata air dikembalikan kepada Pemerintah Provinsi.

Selain melakukan konsultasi, Pansus II juga sempat melaksanakan studi Banding ke Kota Malang yang sudah lebih dulu memiliki Perda tentang Perlindungan Mata Air. Pun demikian, akhirnya diketahui bahwa Perda tersebut kini telah divakumkan karena terbitnya Putusan MK.

- Advertisement -

“Saran dari kementerian agar pembahasan tentang Ranperda menunggu adanya UU baru saat ini sedang dilakukan pembahasan. Kami sepakat dengan Eksekutif bahwa Ranperda ini kita tunda atau ditarik kembali melalui Sidang paripurna mendatang,” Jelasnya.

Sementara itu, Eksekutif melalui Kepala Dinas PUPR Kabupaten Buleleng Ketut Suparta Wijaya menyampaikan beberapa masukan dan pertimbangan untuk pembahasan dan penyempurnaan Ranperda tentang Perlindungan Mata Air diantaranya, Undang Undang Dasar (UUD) RI tahun 1945 pasal 33 ayat 3 yang mengamanatkan bahwa Bumi dan Air dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini memiliki arti bahwa Negara tidak memiliki namun mempunyai Hak menguasai dalam bentuk mengatur peruntukkannya.

Menurutnya, sebagai tidak lanjut UUD ini, keluarlah beberapa produk perundang-undangan, salah satunya UU nomor 11 tahun 1974 tentang pengairan. Dalam Undang-Undang ini, pada pasal 4 menyatakan bahwa Pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam mengelola air dan sumbernya yang syarat dan caranya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Namun pada kenyataannya, dari 26 PP turunan dari UU tidak ada kewenangan yang diberikan pada pemerintah daerah dalam perlindungan sumber sumber air, termasuk didalamnya mata air, selain PP 121 tahun 2015 yang memberi kewenangan Pemda dalam penerbitan ijin saja yang harus dibentuk melalui Peraturan daerah.

“Oleh karena itu kami menyarankan agar ranperda ini ditunda pembahasannya, sambil menunggu diundangkannya UU tentang Sumber Daya Air yang baru,” Ujarnya.

Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) kabupaten Buleleng tentang Perlindungan Mata Air ini merupakan Ranperda inisiatif Dewan. Dalam pengajuannya, juga dilengkapi dengan kajian akademik oleh Lembaga Hukum Kajian Pembangunan (LHKP) Unipas Singaraja.

Menurut Haji Mulyadi Putra, seharusnya dalam kajian akademik itu ada analisa bahwa Pembahasan Ranperda tentang Perlindungan Mata Air ini tidak bisa dilanjutkan karena terkendala acuan Yuridis atau payung hukum. Sehingga, Ranperda ini tidak perlu lagi dilanjutkan ataupun diajukan melalui Rapat Paripurna untuk pembahasan.

Ia juga sangat menyayangkan karena Badan Pembentukan peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Buleleng tidak cermat dalam menganalisa dan menggali landasan yuridis, sebelum ranperda diajukan pada Rapat Paripurna. Terlebih lagi setelah Pansus dibentuk, sudah banyak biaya yang dikeluarkan untuk membahas termask untuk melaksanakan Konsultasi dan studi banding.

Menurutnya, dalam pembahasan awal di tingkat Bapemperda, tidak hanya memperhatikan aspek sosiologis dan aspek filosofis, namun juga memperhatikan aspek yuridis atau payung hukum. Haji Mulyadi Putra berdalih bahwa Pansus baru menemukan kendala payung hukum ini setelah melakukan pembahasan dan melakukan konsultasi ke Kementerian PUPR.

Padahal, Putusan MK yang membatalkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 dan kembali pada Undang-Undang nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan lebih dulu, dibandingkan pengajuan Ranperda Inisiatif Dewan tentang Perlindungan Mata Air.

“Kita sampaikan ke Bapemperda agar lebih cermat lagi. Jangan sampai semua Perda Inisiatif Dewan tidak bisa dilanjutkan karena alasan tidak ada landasan yuridis yang kuat untuk acuan pembahasan ranperda tersebut,” Tegas Haji Mulyadi. |RM|

 

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts