Gung Kak : “Dimana Bumi Dipijak, Disana Langit Dijunjung”

Singaraja, koranbuleleng.com| Eksistensi Kesenian di Kabupaten Buleleng tidak bisa dilepaskan dengan nama Anak Agung Gede Ngurah Agung Pemayun. Ia adalah seniman berdarah Gianyar namun selama ini hidup dan mengabdikan diri untuk kehidupan kesenian di Buleleng. Kiprahnya mendapat apresiasi dari Pemerintah Provinsi Bali, berupa penghargaan Pengabdi Seni.

Kini usianya tak lagi muda. Di bulan September 2019 ini sudah memasuki usia 65 tahun. Rambutnya sebagian besar sudah memutih, dan tetap setia dengan gaya rambut belah tengahnya. Walaupun demikian, Ia masih terlihat enerjik. Tidak seperti beberapa seniman-seniman yang sudah berusia lanjut pada umumnya.

- Advertisement -

Pria yang akrab disapa Gung Kak ini masih sibuk dengan segudang aktivitasnya sebagai seorang seniman. Diusia senjanya itu pula, Pria Kelahiran 19 September 1954 ini baru mendapatkan Penghargaan Pengabdi Seni dari Pemerintah.

Atas penghargaan itu, kami kemudian mengobrol santai di sebuah tempat makan di kawasan Kubujati Kelurahan Banyuning Kecamatan Buleleng, setelah sebelumnya sempat berjanji melalui sambungan telpon beberapa kali dan tertunda. Sambil ditemani secangkir kopi, Ia kemudian memulai bercerita.

Ada banyak hal yang diceritakan dengan semangatnya. Anak Agung Gede Ngurah Agung Pemayun menyebut sudah menunjukkan kecintaannya terhadap seni sejak usia dini. Ia memang memiliki darah turunan seniman, Sang Ayah Anak Agung Gede Raka Reong adalah seniman Tabuh, sedangkan Sang Ibu Anak Agung Ayu Rai adalah seorang penari.

Anak pertama dari sembilan bersaudara ini serius mulai berkesenian sejak duduk di bangku SD. Kala itu, Ia masih bersekolah di tanah kelahirannya di Puri Pejeng, Kabupaten Gianyar. Menari adalah kesenian pertama yang diminati.

- Advertisement -

“Karena Ajik seorang Angkatan, kemudian pindah ke Singaraja, dan saya melanjutkan SD di Singaraja. Tapi saya tetap berkesenian,” tuturnya mengawali cerita.

Beberapa tahun berjalan, Ia kemudian melanjutkan pendidikan tingkat SMP di SMP Negeri 1 Singaraja. Disekolah itupun masih aktif berkesenian sebagai Pragina. Setahun berjalan Ayah dari tiga orang anak ini kemudian harus ikut kembali Orang Tuanya yang dipindahkan kembali ke Gianyar. Dari kelas 2 SMP hingga lulus SMA, Gung Kak melanjutkan pendidikan di Kabupaten Gianyar.

Yang cukup menarik Ia tuturkan adalah ketika muncul keinginan untuk melanjutkan sekolah di Konservatory Karawitan (Kokar) Bali di Gianyar. Kala Ia meminta ijin kepada orang tuanya terutama Sang Ayah, justru tidak mendapatkan restu. Bukan karena tidak mengijinkan serius berkesenian, melainkan karena Gung Kak dianggap sudah mumpuni sebagai seorang Seniman.

“Untuk apa kamu sekolah di Kokar, kamu sudah bisa menabuh, sudah pintar menari,” ujarnya menirukan pesan Sang Ayah.

“Karena tidak diijinkan, ya Saya ngambul tidak beraktivitas apapun selama liburan, cuma meceki saja,” kenangnya sambil tertawa.

Selesai menempuh pendidikan tingkat SMA, Suami dari Anak Agung Istri Erawati ini kemudian melanjutkan Kuliah di Singaraja, mengambil jurusan Geografi. Menarik memang ketika mendengar ceritanya yang memilih jurusan berbeda dengan keahliaannya sebagai seniman. Karena menurutnya kembali lagi, Ia mengingat pesan orang tua, untuk mengetahui Ilmu Pengetahuan selain Seni.

Walaupun demikian, aktivitasnya di Kampus masih didominasi dengan kegiatan berkesenian dengan membentuk sebuah Grup Kecak. Dalam pementasan, Ia mendapatkan tugas untuk memerankan tokoh Hanoman dalam cerita Ramayana. Cak yang dipentaskan itu nyatanya memang menjadi titik awal eksistensinya dalam berkesenian di Kabupaten Buleleng.

Gerakan tarian dan kelincahannya memerankan tokoh Hanoman ternyata menarik perhatian Sekaa Gong Desa Kedis Kecamatan Busungbiu. Dari sanalah kemudian kegiatannya berkesenian di Buleleng semakin berkembang. Sejumlah prestasi berhasil diraih dalam berbagai kegiatan lomba tari tradisional.

Berhasil menguasai seni tabuh dan tari secara otodidak, tidak membuatnya puas diri. Hingga kemudian berusaha melebarkan diri dengan mendalami seni peran dan ikut serta dalam berbagai pertunjukkan Drama Gong.

Namanya kian bersinar, hingga kemudian dikenal sebagai pencipta tabuh dan tarian. Banyak karya yang sudah diciptakan dengan tangan dinginnya. Misalnya saja adalah tari Sandya Gni yang diciptakan di tahun 1982 silam. Kemudian ada Tari Muka Sambrama dan beberapa tarian lain. Ia juga menciptakan Adi Merdangga Rwa Bhineda SMA Negeri 1 Singaraja ditahun 1987.

Kemudian membuat Janger Pancame di tahun 2005, hingga kemudian kesenian Janger ini terpilih mewakili Bali dalam Lomba Tari Rakyat di Tingkat Regional di tahun 2006.

Selain membuat ciptaan tabuh dan tari, Pria yang pernah menjabat sebagai kepala SMP Negeri 6 Singaraja ini juga membuat sebuah gebrakan. Misalkan saja Baleganjur kolaborasi dengan alat music rebana, dan juga kolaborasi Baleganjur dengan Drumband.

“Sampai sekarang Astungkara saya masih kuat dan masih dipercaya oleh teman-teman seniman termasuk juga oleh Pemerintah,” kata dia.

Ceritanya kemudian behenti. Gung Kak lalu menyeruput kopi yang sudah mulai dingin pada cangkirnya. Tertegun sejenak dan seolah berpikir. Kemudian menghela nafas dan bibirnya kembali bergerak. Melanjutkan sebuah cerita. Atau memberikan semacam jawaban yang mungkin saja menjadi pertanyaan banyak orang. Tentang Dia yang memiliki darah Gianyar, justru memilih mengabdikan diri sebagai seorang seniman di Kabupaten Buleleng.

“Dimana Bumi Dipijak, Disana Langit Dijunjung,” ucapnya.

Dia merasa memiliki hutang budi dengan Kabupaten Buleleng. Apalagi, selama usianya remaja hingga kini sudah memiliki cucu, Lulusan Sarjana Muda Gerografi ini memang mendapatkan nafkah dari Gumi Panji Sakti. Hal itulah yang kemudian memantapkan hatinya untuk terus mengabdi kepada Buleleng, selama masih dibutuhkan.

“Saya pernah ditawari untuk mengabdi di Gianyar, tapi saya putuskan akan menghabiskan usia saya untuk tetap berkesenian di Buleleng,” tegasnya.

Rasa idealisme keseniannya untuk Buleleng memang tinggi. Bahkan Ia berani menyebut dirinya sebagai seniman yang fanatik terhadap Kesenian Buleleng. Disebutkan sekitar tahun 1980-an, Gung Kak adalah seniman pertama yang membawa Gong Pacek, dalam perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB).

Apa yang disampaikan Anak Agung Gede Ngurah Agung Pemayun memang tidak terlepas dari pengalamannya yang sudah menikmati asam garam dalam bidang berkesenian. Kini, Ia pun memiliki haraan yang besar kepada Seniman-seniman Muda yang memiliki bakat tinggi untuk membuat kesenian di Buleleng tetap eksis.

Secara khusus, Ia berpesan agar Seni tidak dimanfaatkan untuk mengejar financial. Karena pada menurutnya, Seni adalah Rasa, sebuah keindahan akan sebuah unsur yang bertujuan positif menjadikan penikmat merasa dalam kebahagiaan.

“Kalau orientasinya ke financial, itu tidak akan metaksu garapannya. Kalau prinsip Tiang beda, yang penting mampu memuaskan penonton, membawa nama baik di atas panggung, masalah financial itu nomor dua, itu menurut saya,” pesannya. |Rika Mahardika|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts