Hidup Dari Tembakau, Kemarau Juga Bisa Bikin Petani Galau

Singaraja, koranbuleleng.com| Musim kemaru, memang menjadi salah satu musim yang dimanfaatkan untuk menanam hasil bumi, seperti tembakau. Namun, jika kemarau ekstrim, kekuarangan air akan menjadi masalah juga dan berpengaruh terhadap kualitas daun tembakau.

I Gusti Agung Sadnyana baru akan beranjak pulang menuju ke rumah dar kebun tembakaunya. Wajahnya terlihat sedikit lesu dan pucat. Bukan karena sedang sakit, melainkan karena usai bergadang untuk mengairi lahan tembakau miliknya di Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada.

- Advertisement -

Agung Adnyana seorang petani tembakau yang kini mengelola tiga hektar lahan tembakau di Desa Sambangan. Dia menuturkan, untuk menggarap lahan yang dikontrak itu, memang sudah mempekerjakan ratusan tenaga kerja untuk melakukan perawatan, namun Ia juga memilih untuk terjun langsung. Bukan karena tidak percaya dengan para pekerjanya, namun Ia mengaku sudah terbiasa ikut serta melakukan perawatan terhadap tanaman tembakau.

Musim kemarau di tahun 2019 ini kata Agung Adnyana menjadi musim yang membuatnya galau, bahkan termasuk juga petani-petani tembakau lainnya yang ada di Kabupaten Buleleng. Hal itu karena kemarau panjang ini cukup menyulitkan petani untuk mengairi lahan. Sehingga hal itupun ditakutkan akan mempengaruhi kualitas.

“Namun musim kemarau juga tidak baik, karena mempengaruhi kualitas berat daun yang menjadi tipis. Air di lapangan agak sulit. Biasanya diairi tiap dua minggu sekarang 60 hari baru bisa, karena sulitnya air akibat kekeringan. Kalaupun ada tidak sesuai dengan kebutuhan,” tuturnya.

Pria yang juga sebagai Sekretaris DPD Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Bali ini menjelaskan secara rinci, bagaimana tanaman tembakau dengan kualitas baik bisa dihasilkan. Dan Ia pun berharap jika tembakau miliknya bisa memberikan hasil yang sesuai dengan ongkos produksi yang telah dikeluarkan.

- Advertisement -

Untuk tahun 2019 saja, Ia mengontrak satu hektar lahan dengan harga Rp12,5 juta perhektar per hektar per musim. Dimana dalam satu musim tanam, ia mempekerjakan hampir 400 orang mulai sejak pembibitan, hingga proses paska panen.

“Kalau milik saya, satu hektar ada 14 ribu pohon, kemudian satu pohon itu menghasilkan 22 lembar daun. Dan biasanya itu bisa dipanen 9 sampai 10 kali dengan memetik 2 sampai dengan tiga lembar setia panen. Sekarang prediksi kita produksi yang bisa masuk paling banyak dua ton, itu pun kalau normal tidak ada kematian per hektar,” jelasnya.

Kini, kekhawatiran yang paling tinggi Ia rasakan adalah keberadaan lahan tembakau yang semakin berkurang. Ditahun 2018, luas lahan yang dimanfaatkan untuk menanam tembakau mencapai 1500 hektar. Namun untuk tahun 2019 ini, luasannya sangat menurun drastik mencapai sekitar 500 hektar.

Kondisi itu kata Agung Adnyana terjadi karena berbagai faktor. Mulai dengan biaya yang harus dikeluarkan yang cukup tinggi, hingga keberadaan regulasi berupa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Selain itu, terhitung mulai 1 Januari 2020, Pemerintah bakal menerapkan kebijakan kenaikan cukai rokok sebesar 23%. Harga jual eceran (HJE) rokok juga ikut naik sebesar 35%.

Efek domino atas kenaikan HJE ini bakal berdampak terhadap tenaga kerja yang berkaitan dengan industri rokok, termasuk petani tembakau. Hal ini pun menjadi salah satu ancaman semakin sedikitnya petani yang mau bertahan untuk menanam tembakau di kabupaten Buleleng.

“Cukai naik, pasti harga tembakau turun, tidak mungkin perusahaan mau membayar cukai, pasti petani.

Kalau diberlakukan, petani tembakau akan banyak yang mundur,” sebutnya.

Atas kondisi itu, banyak petani tembakau yang meminta jika keputusan untuk menaikan cukai ditunda. Ia pun bersama dengan jajaran pengurus APTI Bali akan membawa aspirasi para petani tersebut.

Diharapkan Pemerintah dapat bersikap arif sebelum mengambil keputusan menaikan tarif cukai rokok. Sebab, masyarakat petani khususnya petani tembakau sifatnya masih menjunjung tinggi sifat kegotongroyongan dan kerja sama. |Rika Mahardika|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts