Putu Satria Kusuma Yang Selalu Keluar dari Pakem

Singaraja, koranbuleleng.com | Gaya bertuturnya selalu berapi-api, semangat dan terburu-buru. Namun karakter itu justru menjadi penguat hidup bagi Putu Satria Kusuma dalam berkarya. Dia, seorang yang terbiasa keluar dari pakem umum.

Kesehariannya, dia seorang birokrat namun juga lama malang melintang menjadi seorang seniman teater. Dalam teater, dia tidak hanya sebagai aktor, namun juga langsung menjadi penulis naskah.  

- Advertisement -

Satria sudah menulis ratusan naskah teater, dan telah berkelana ke sejumlah kota di Pulau Jawa dan Bali untuk memainkan banyak peran. Dua dunia yang berbeda itu dijalani dengan sahaja.

Bukan saja sebagai pemain teater, namun juga Satria adalah seorang filmmaker, pembuat film indi. Satria adalah salah satu tokoh manusia di Buleleng yang tak pernah puas untuk berkarya. Dia selalu haus akan referensi dan menggali alam pikirnya sedalam mungkin.

Saat ini, Satria mengaku sedang mencari format dan ide yang bisa dikerjakan bersama dengan sejumlah filmmaker. Namun, harus ada komitmen untukmembuat karya berkualitas yang bisa dipersembahkan untuk masyarakat.

“Selama ini, aku melakukannya secara mandiri saja, mengekskusi dengan segala keterbatasan tapi aku bisa berbicara dalam kancah film di Bali,” kata Satria.

- Advertisement -

Satria mengaku mencari banyak referensi dan riset untuk membuat sebuah film. Baik melalui literasi pustaka maupun langsung melakukan observasi ke wilayah tertentu sebelum melakukan eksekusi produksi filmnya.

Dari beberapa film yang digarap, Satria merasa punya kekhasan tersendiri dalam memproduksi filmnya secara indi. Dia sering melibatkan anak-anak dalam setiap filmnya. Alam bawah sadarnya tersentak, ternyata anak-anak mewarisi keburukan dari generasi terdahulunya. “Kepekaanku disana, aku memandang kok anak-anak ini mewarisi ketidakberesan dari generasi pendahulunya, entah orangtua  sendiri, atau dari tetangganya dan yang lain,” ujarnya.

Pada  film “Kresek” yang bercerita tentang seorang anak harus menjadi seorang pembersih lingkungan, padahal sampah-sampah itu sebagian besar dibuang oleh generasi pendahuunya. “Ternyata anak ini yang harus menyelesaikan beban lingkungan itu, karena ada orang lain yang lebih tua yang mewariskan itu sehingga si anak ini yang haru smenyelesaikan permasalahan sampah ini,” katanya.

Begtupun dalam alur cerita film “Bape”, dimana seorang anak mendapatkan dampak psikologis karena ayahnya menjadi salah satu korban kekerasan politik.  “Jadi, aku secara spontan menarik garis bahwa disitu konflik yang ingin aku tonjplkan sekaligus pesan agar jangan memberikan warisan buruk bagi anak-anak,” ucapnya.

Pesan dalam film yang disampaikan Satria memang selalu unik, jarang bisa terpikirkan oleh orang lain. Konstruksi berfikir dari Putu Satria melalui penyampaian pesan di film maupun teater selalu sarat simbol yang dekat dengan kehidupan masyarakat.  

Namun terkadang, konstruksi nalar yang berbeda ini akan jarang dipahami oleh penikmat film yang tergiur dengan selera gampangan.  

“Semestinya memang harus ada edukasi tentang film-film yang berkualitas bagi audien, tetapi siapa yang melakukan itu? Sampai saat ini belum ada,”kata Satria yang selama ini meras agundah dengan kondisi itu.

Semestinya, kata Putu Satria ada pihak-pihak tertentu secara sadar untuk memberi edukasi dan menyampaikan pesan berkualitas dari film itu. Ada filmmaker, tetap ada kritikus yang bisa menyampaikan melalui media.

“Tersumbatnya dimana kalau seperti itu. Selera kita terlalu terbiasa gampangan, diracuni sinetron-sinetron yang beredar selama ini.” pungkasnya. | NP|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts