Untuk Keseimbangan Alam, Mapepada digelar Terbatas

Singaraja, koranbuleleng.com | Beberapa anak muda, langsung menyodorkan hand sanitaser bagi warga yang memasuki area Pura Desa Adat Buleleng, Senin 23 Maret 2020.

Sore itu, ditengah guyuran hujan deras, Desa Adat Buleleng sedang menggelar tradisi Mapepada, yakni sebuah tradisi untuk memuliakan sejumlah hewan yang digunakan untuk perlengkapan banten atau sesajen upacara pecaruan tawur balik sumpah madya, yang akan digelar Selasa 24 Maret 2020, sehari sebelum Nyepi caka 1924.

- Advertisement -

Prosesi mapepada ini berjalan berbeda dari tahun biasanya. Yang mengikuti tradisi ini dibatasi untuk menghindari kerumanan banyak orang, hanya sejumlah perwakilan semata. Pihak panitia juga menyediakan hand sanitiser, serta masker dan sarung tangan. Semua itu disediakan sebagai upaya mencegah penyebaran wabah Corona yang sedang melanda dunia.

Di Buleleng sendiri, sedang ada 4 orang sebagai pasien dalam pengawasan (PDP) 62 orang dalam pemantauan (ODP) dan 336 orang masuk dalam kategori self monitoring.  

Selama pelaksanaan tradisi Mapepada, pihak panitia juga beberapa kali terdengar mengingatkan kepada prajuru dan warga untuk menghindari penularan virus COVID 19 dengan cara menjaga jarak, mencuci tangan serta menggunakan masker.  Baru kali ini, situasi dan kondisi ini berlangsung karena sedang dilanda wabah Corona.

Tradisi mapepada untuk memuliakan sejumlah wewalungan atau hewan yang digunakan untuk pelengkap sarana upacara pecaruan itu. Beberapa hewan yang akan digunakan sebagai pelengkap sarana upacara seperti bebek, angsa, ayam, anjing bang bungkem, kerbau, kambing hitam.  Hewan-hewan itu digunakan untuk pelengkap banten pecaruan.

- Advertisement -

Seluruh prosesi Mapepada ini dimulai dari Pura Desa. Proses dipuput langsung oleh seorang Sulinggih. Dalam prosesi Mapapeda itu, ada rangkaian seluruh hewan-hewan itu diarak berkeliling area jaba Pura Desa sebanyak tiga kali, lalu dibawa mengelilingi catus Pata, sebagai lokasi upacara tawur.  

Kelian Desa Adat Buleleng, Jro Nyoman Sutrisna menjelaskan sesuai dengan Lontar Bama Kerti dan Ciwa Gama, tradisi ini sebagai upaya untuk menyucikan hewan yang digunakan sebagai sarana upacara pecaruan untuk kesimbangan alam, bhuwana agung dan bhuwana alit.

Sutrisna, mantan Kadis Pariwisata Buleleng ini mengkaui dijalankan seefektif mungkin ditengah wabah Corona,  dan harus mengindahkan semua edaran dari Pemerintah dan aparat keamanan.

“Semua protap kami ikuti, membatasi agar tidak terjadi keramaian, menyemprot area upacara dengan disinfekatan, kami harus menggunakan masker dan sarung tangan hingga menjaga jarak yang aman,” terang Sutrisna.

Sutrisna juga menambahkan, dalam upacara tawur balik sumpah madya juga akan menggunakan sarana banten penolak bala. Ini dilakukan sebagai upacaya niskala agar semua penyakit bisa dimusnahkan.

“Kita ingin melakukan segala upaya sekala dan niskala agar semua bisa normal kembali,” ucapnya.

 Sementara itu, Ketua Majelis Madya Desa Pakraman Buleleng, Dewa Putu Budarsa menegaskan semua kegiataan keagaman sangat dubatasi dan harus mengikuti himbauan dari pemerintah agar tidak terjadi penyebaran virus Corona.

“Semua kami batasi, ogoh-ogoh di seluruh wilayah ditiadakan. Upacraa tawur agung juga dibatasi hanay perwakilan saja,” ucap Dewa Budarsa. |NP|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts