Tradisi Cacakan, Ritual Caru di Bulan Tergelap

Singaraja | Tilem sasih Kepitu dipercaya masyarakat Bali sebagai bulan tilem tergelap dibandingkan pada hari-hari tilem yang lain sepanjang tahun. Di tilem sasih kapitu inilah warga Desa Adat Sambirenteng di Tejakula menggelar sebuah tradisi tua yang telah diterima mereka dari nenek moyangnya, yakni Tradisi Cacakan.

Keunikan dari tradisi ini yakni dimulai dengan ritual sabung ayam selama satu setengah hari yang dimulai tepat pada hari tilem sasih kapitu. Sabung ayam digelar di halaman Sanggah Desa.

- Advertisement -

Sanggah Desa adalah sebuah pura yang diusung oleh seluruh warga desa adat tanpa melihat latar belakang kasta. Sanggah Desa ini dipercaya merupakan asal-usul dari seluruh warga desa adat ketika leluhur mereka mendirikan desanya.

Dalam prosesi sabung ayam, Satu kepala keluarga yang terdaftar sebagai warga desa adat wajib menyerahkan satu ekor ayam jantan untuk diadu. Jika warga tidak bisa memberikan satu ekor ayam jantan, warga adat diperkenankan menyerahkan satu ekor ayam yang nantinya siap untuk dimasak. Mereka yang menyerahkan uang disebut nyeratos.

Namun warga juga punya pilihan lain yakni memberikan uang sejumlah Rp.25.000 atau dinamakan memirak jika tidak menyerahkan ayam jantan atau ayam ras yang siap dimasak.

Sabung ayam yang digelar di halaman Pura sanggah Desa diikuti oleh ratusan warga desa setempat. Warga sebelumnya telah membuat “kalangan’ atau tempat untuk sabung ayam yang ukurannya kurang lebih 6 x 6 meter.

- Advertisement -

Untuk lebih adil, ada seorang warga yang bertugas untuk membunyikan kentungan ketika ayam mulai diadu atau selesai ketika salah satu ayam kalah tanding. Hanya dua orang pekembar yang boleh berada di dalam kalangan sementara warga lain harus berada diluar area itu.

Ayam-ayam yang kalah tanding inilah akan dikumpulkan untuk dimasak bersamaan. Ada ratusan ayam yang siap masak dari hasil sabung ayam.

Di Balai masyarakat, ratusan warga telah menunggu untuk memasak ayam aduan ini. Mereka membagi tugas dalam beberapa kelompok. Ada yang bertugas untuk membuat bumbu, ada yang bertugas untuk memarut kelapa dan ada yang bertugas untuk ngelawar serta yang lain. Sementara sejumlah wanita desa mempersiapkan sejumlah sesajen untuk pelaksanaan upacara dari tradisi cacakan ini.

Sejumlah bahan-bahan untuk dimasak mulai dari bahan bumbu seperti cabe, bawang, jahe, ketumbar serta yang lain termasuk kelapa dibawa oleh seluruh warga. Satu warga ada yang membawa satu butir kelapa, lalau ada yang membawa daun dan yang lain.

Maka dari itu, sejak dua hari sebelum tradisi ini digelar, warga adat Sambirenteng telah mempersiapkan semua kebutuhan untuk menjalankan tradisi ini. “Ya saya siapkan kelapa, daun-daun pisang dan yang lain sejak dua hari lalu,” ujar seorang warga desa, Putu Sumenaya.

Warga desa memasak seluruh daging ayam ini selama hamper satu hari. Uniknya, selama proses memasak, taka da warga yang berani mencicipi olahan makanan karena dipercaya sebagai pantangan. “Ya memang ini sangat sakral, tidak ada warga yang berani mencicipi apalagimembawa ataumembungkus makanan ini untuk dibawa pulang.“ ujar Wayan Suknaya, warga setempat.

Pada malam harinya usai masak bersama, warga desa wajib untuk datang ke jalan untuk mengikuti santap bersama atau tradisi setempat dinamai negakang. Satu kelompok terdiri dari 8 orang dan harus menyantap secara bersama-sama satu hidangan makanan yang terdiri dari nasi, jukut cundang, dan lawar.

Tradisi ini juga punya aturan waktu. Satu orang bertugas membunyikan kentungan. Jika kentungan awal berbunyi, maka seluruh warga sudah harus siap dan duduk bersama di jalan raya lalu mulai menyantap makanan. Jikapun sudah selesai makan, warga juga tidak boleh langsung pergi begitu saja , mereka harus tetap duduk menungggu bunyi kentungan selanjutnya tanda tradisi ini selesai dilakukan. Setelah itu, barulah warga diperkenankan beranjak dari lokasi negakang.

Kelian Desa Pekraman Sambirenteng, Jro Bendesa Nengah Mas juga mengungkapkan, bahwa tradisi ini adalah tradisi tua yang telah diterima begitu saja oleh warga.

Belum diketahui secara pasti, sejak kapan tradisiini digelar. “Namun dari sisi filosopi tradisi ini merupakan penjabaran dari Tri HIta Karana. Ada tiga hubungan yang harus dijaga oleh manusia yakni Hubungan Manusia dengan Tuhan, hubungan Manusia dengan Manusia dan hubungan Manusia dengan Alam. Maka itu dalam tradisi ini ada ritual upacara untuk butha yadnya. Dan pada sisi lain, tradisi ini juga membawa kami pada sistem kehidupan bermasyarakat yang penuh toleransi dan kebersamaan antar warga, serta persembahan dan permohonan dengan doa kepada Tuhan,” ujar Nengah Mas.

Warga Desa Sambirenteng telah mengeglar ini selama berabad-abad. Tak pernah tidak dilaksanakan. Konon, Dulu pernah tidak digelar namun justru terjadikekacauan di desa adat. Ketika upacara ini tidak dilaksanakan, ada sejumla warga yang mengamuk dan kesurupan sehingga warga desa kembali menggelar traidisi ini.

Di sisi lain, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng, Gede Suyasa mengungkapkan tradisi cacakan di Desa adat sambirenteng merupakan salah satu khasanah budaya yang dimiliki oleh Buleleng. Ke depan, adat dan Budaya seperti ini akan terus dijaga secara bersama-sama oleh warga desa setempat dan Pemerintah Kabupaten BUleleng.

Tradisi-tradisi seperti ini sangat penting artinya bagi perjalanan dan sejarah budaya Buleleng ke depannya. “Tradisi cacakan ini tradisi tua yang patut kita jaga bersama. Ke depan, kami dari Pemerintah Kabupaten Buleleng bersama warga akan menjaga tradisi-tradisi seperti ini karena hal ini sangat penting bagi Buleleng sebagai sebuah ciri khas budaya,” ungkapnya.

Disbudpar Buleleng sejauh ini memang sudah melakukan pencatatan tentang seluruh asset seni, adat dan budaya yang dimiliki oleh Buleleng untuk kepentingan pelestarian seni budaya. |

 

 

 

 

 

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts