Legong Pengeleb, Cerita Perempuan Yang Terbebas Dari Keterbatasan Pergaulan

Singaraja, koranbuleleng.com| Legong Pengeleb adalah sebuah tarian yang tercipta dari masa lampau dan sebenarnya hampir saja punah.

Konon, Legong Pengelen ini tercipta dari inspirasi kebebasan berekspresi dari perempuan yang terbebas dari segala bentuk keterbatasan dan tindakan. Tarian ini seperti membawa pesan, semangat perempuan untuk menjalani hidup yang setara dengan kaum manusia lainnya.

- Advertisement -

“Pengeleb itu asal katanya Ngeleb. Diperkirakan, tarian ini memang tercipta sesuai kondisi pada saat itu. Dulu, gerak seorang perempuan sangat terbatas, tidak seperti Lelaki. Maka ketika dia mendapatkan kebebasan berekspresi, disitu timbul semangat perempuan untuk melakukan perjuangannya,” terang Wayan Sujana, seorang seniman Buleleng yang juga birokrat di Dinas Kebudayaan, Kabupaten Buleleng.

Tarian tua ini pernah nyaris punah. Namun sejumlah seniman karawitan di Buleleng, melakukan penggalian agar warisan tari ini kembali hidup, tak terkubur jaman.

Legong Pengeleb adalah sebuah tarian yang tercipta di Desa Menyali oleh seniman bernama Cening Winten. Tarian itu dulu menjadi sebuah pertunjukkan yang sangat popular di Desa tempat diciptakan. Namun lambat laun, kepopulerannya hilang. Tidak banyak yang mewarisi tarian itu, karena memang dulu, Bapa Cening sebagai pencipta ataupun beberapa penarinya tidak pernah melakukan regenerasi. Legong Pengeleb itupun meredup dan hanya tinggal nama.

Beruntung kemudian ada tiga nama seniman yang muncul untuk melakukan penggalian terhadap Tarian tersebut. Tiga seniman itu masing-masing Made Keranca  dari Desa Jagaraga, Made Redita dari Desa Menyali, dan Made Pasca Wirsutha dari Banjar Paketan. Upaya penggalian pun dilakukan.

- Advertisement -

Proses penggalian untuk rekonstruksi tarian tersebut berawal saat Sanggar Cudamani dari Pengosekan Ubud Kabupaten Gianyar ingin melakukan rekontruksi terhadap tarian terpendam yang ada di Kabupaten Buleleng, sekitar tahun 2010.

Saat itu dari pihak sanggar meminta Made Pasca Wirsutha atau yang akrab disapa Dek Pas ini untuk melakukan penggalian.

Dek Pas yang memang punya ambisi besar menggali, merekonstruksi, dan menghidupkan kembali tari dan karawitan asli masa silam yang diciptakan maestro besar Buleleng di masa lalu merasa tertantang. Ia kemudian melakukan penjajagan ke Desa Menyali. Bersama dengan Made Keranca, di Desa Menyali mereka bertemu dengan Made Redita atau yang akrab disapa Pan Carik dan juga Bapa Baik. Semuanya digali mulai dari gerakan tari hingga nada-nada dalam karawitan pengiringnya.

Made Keranca, cucu dari Wayan Paraupan atau yang lebih dikenal dengan Pan Wandres mengaku pernah melihat Legong Pengeleb. Kala itu sekitar tahun 1957, Sang Kakek mengajaknya untuk menyaksikan pertunjukkan tari di Desa Menyali. Saat itulah Ia mengetahui Legong Pengeleb.

“Ketika itu saya melihat jika Legong Pengeleb itu berdurasi pendek sekitar 5 menit. Dan untuk penarinya juga tampil dengan kostum yang sederhana, mirip tari pendet,” jelasnya.

Di tahun 2010, proses rekonstruksi pun dimulai. Banyak kesulitan yang ditemui saat melakukan penggalian terhadap tarian tersebut. Salah satu yang berhasil digali adalah inspirasi dibalik terciptanya tarian tersebut.

Dimana tari itu berkisah tentang kehidupan perempuan dimasa lampau, yang terkungkung dan pergaulannya dibatasi oleh orang tua mereka. Hingga kemudian setelah mereka membujuk, barulah diijinkan untuk berbaur, bersosialisasi, dan bermain dengan sesama. Disana terlihat rasa riang dan gembira bagi anak-anak perempuan Desa.

“Bagaimana gerakan ketika perempuan yang sudah dikukung kemudian diberikan kebebasan, mereka pasti gembira dan berlompatan. Kalau seolah-olah seperti burung dalam sangkar yang kemudian dilepas liarkan, kira-kira begitu perumpanaannya,” kata Made Keranca.

Sementara untuk penggalian gerak tari juga dilakukan penuh perjuangan. Beberapa penari yang masih bisa ditemui saat itu lebih banyak lupa. Namun dengan sedikit kesabaran, semua koreografinya bisa didapatkan.

“Dalam gerakan tarinya ada saat berdiri, kemudian ada juga menari sambil duduk di kursi. Dan secara garis besar tariannya adalah tarian ceria,” ceritanya lagi.

“Dalam proses rekontruksi dilakukan pengembangan sehingga durasinya lebih lama. Ada beberapa gerakan tarian juga yang dikembangkan, termasuk kursi sebagai properti tari dirubah menjadi sebuah kotak,” imbuh Bapa Keranca.

Sementara itu, kesulitan yang sama juga terjadi saat proses penggalian nada-nada dalam karawitannya. Dek Pas menuturkan jika mereka yang ditemui saat pencarian data itu sudah berusia lanjut, sehingga banyak nada-nada yang dilupakan. Sehingga dalam proses rekontruksi, Karawitan pengiringnya pun banyak yang dikembangkan.

“Ada banyak tambahan dan pengembangan, termasuk bagian kekebyaran. Cuma pengembangannya itu dibeberapa bagian saja. Bagian pepeson sedikit,pengawak sedikit, dan pengecet juga sedikit, supaya semuanya berisi,” ujarnya.

Setelah proses rekontruksi itu tuntas dilakukan, kemudian untuk pertama kalinya Legong Tombol ditampilkan kembali dikhalayak ramai dalam Pesta Kesenian Bali di tahun 2011. Saat itu, sanggar yang menampilkannya adalah Padepokan Seni Dwi Mekar SIngaraja sebagai duta Kabupaten Buleleng.

Disisi lain, sebagai upaya penggalian, pengembangan dan pelestarian terhadap kesenian, khususnya kesenian tari di Buleleng, Dinas Kebudayaan Disbud menggelar Workshop serangkaian dengan Bulfest tahun 2019. Kegiatan tersebut berlangsung di Wantilan Puri Seni Sasana Budaya Singaraja, Kamis, 8 Agustus 2019. Salah satu tarian yang diangkat adalah Legong Tombol. Made Keranca yang melakukan rekontruksi secara tradisi langsung dihadirkan sebagai narasumber.

Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng Gede Komang menjelaskan, Buleleng merupakan salah satu daerah di Bali yang kaya akan potensi kesenian. Terlebih lagi, Buleleng memiliki andil dalam perkembangan kesenian di Bali. Betapa tidak, untuk kesenian karawitan misalnya, Buleleng menjadi tempat lahirnya Gong Kebyar. Sedangkan untuk seni tari, Buleleng juga mengawali dengan menciptakan sejumlah hasil karya tari yang masih eksis hingga kini.

Pun demikian menurutnya, masih perlu lagi dilakukan penggalian untuk selanjutnya dilakukan pelestarian, sehingga nantinya hasil karya seni yang diciptakan oleh para maestro dari Buleleng akan tetap diketahui oleh masyarakat.

“Bilamana perlu apa yang sudah diwariskan oleh para leluhur digali dan direkonstruksi mumpung masih ada tokoh-tokoh seniman baik itu penarinya ataupun penabuhnya,” tegasnya.

Kini, Legong Tombol sudah bisa dinikmati dalam setiap kesempatan pementasan. Salah satunya dalam pelaksanaan Buleleng festival tahun 2019. Dalam Bulfest yang mengambil tema Shining Buleleng ini, Legong Pengeleb bahkan menjadi salah satu materi yang bisa ditampilkan dalam kegiatan Parade Gong Kebyar Mebarung Dangin dan Dauh Enjung yang dipusatkan di Wantilan Puri Seni Sasana Budaya Singaraja. |Rika Mahardika|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts